Oleh: Fradda Visca Alvini *)
Dalam bahasa agama Islam, hakikat dari tradisi megengan atau ider kopi adalah sedekah. Sedekah dalam bahasa sosial keseharian kita sama dengan nyumbang. Tradisi nyumbang telah menjadi bagian sistem sosial masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan. Bagi masyarakat desa di Ponorogo misalnya, ider gula atau sejenisnya, telah menjadi tradisi tak tertulis yang berjalan turun-temurun dari satu generasi ke generasi. Bahkan saking kuatnya, tradisi tersebut seolah menjadi gerakan yang wajib dilakukan oleh setiap rumah tangga muslim.
Pada kondisi tertentu, tradisi ini memiliki fungsi sosial sebagai sistem jaminan sosial yang dapat memitigasi kehidupan masyarakat dari kemiskinan. Mengapa demikian, karena pertukaran ekonomi yang terjadi di dalamnya dapat memberikan tambahan benefit suatu rumah tangga. Antarrumah tangga, satu sama lain saling mengadakan paket sembako ataupun hasil bumi yang mereka tanam untuk diberikan kepada sesama. Dalam teori Simmel, kegiatan ini sejatinya adalah pertukaran ekonomi, barter.
Terbelah
Di dalam perkembangannya, tradisi nyumbang yang semula berupa barter barang hasil pertanian, lalu bergeser pada produk sembako pabrikan seperti gula, kopi dan makanan ringan lainnya. Terakhir, uang menggantikan barang-barang tersebut. Warga yang sebelumnya berbelanja sembako untuk disumbangkan, merubah tradisi dengan menukar uang, sehingga barang yang dipertukarkan tidak lagi barang ekonomi, melainkan uang sebagai alat transaksi ekonomi.
Di sinilah kemudian, ketika tradisi nyumbang dimonetisasi, kritik wacana nyumbang atau ider gula menuai perdebatan cukup sengit. Intinya, pandangan umum terhadap tradisi nyumbang terbelah. Ada yang mendukung, ada yang tidak. Kubu yang mendukung mengajukan landasan argumentasi, bahwa tradisi tersebut adalah sedekah, sedangkan sedekah adalah ajaran agama, bagi yang melaksanakannya akan mendapat pahala. Bahkan bermanfaat untuk menolak bala. Jadi, mau bentuk barang ataupun uang tidak menjadi masalah. Bagi kubu yang menolak, berpendapat bahwa tradisi tersebut memiliki andil memiskinkan masyarakat. Menurut kelompok ini, tradisi ini memberatkan masyarakat, karena masyarakat sampai berhutang hanya demi menggugurkan tradisi yang seolah menjadi kewajiban tersebut. Padahal, untuk bersedekah tidak harus dilakukan setiap jelang ramadhan ataupun jelang hari raya idul fitri.
Saking khawatirnya tradisi nyumbang tersebut membebani kehidupan masyarakat, ada sebagian pemerintah desa yang melarangnya secara resmi. Pertanyaannya kemudian benarkah tradisi tersebut memiskinkan masyarakat. Kalau memang berpotensi memiskinkan, karena masyarakat sampai bersusah payah cari pinjaman uang hanya untuk beli sembako atau ditukarkan dengan uang recehan untuk menggugurkan tradisi ider gula.
Sikap kita
Penulis tidak berpretensi untuk memihak pada salah satu kubu. Tapi mencoba mengemukan beberapa pendapat yang menyatakan sebagai berikut. Pertama, menurut Sayogyo (2006), meluaskan ekonomi uang yang menggantikan ekonomi barter mempengaruhi relasi sosial masyarakat. Bahkan, menurut Penny (1990), Mubyarto (1993) dan Tjondronegoro (1998) perubahan sosial pedesaan dari ekonomi subsisten ke sistem ekonomi uang atau pasar membawa masyarakat desa ke dalam jurang kemiskinan. Kedua, kalau sebelumnya, nyumbangi dapat menggunakan barang hasil pertanian, dan kini menggunakan uang, maka secara sistem sosial ekonomi, masyarakat kian tertekan karena harus mengadakan uang hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi harian yang sebenarnya alam disekitar kita telah menyediakannya. Cara ini, secara tidak langsung telah menggeser perilaku sosial yang mengutamakan uang dari pada hasil kerja masyarakat sendiri yang sebagian besar adalah petani (Lestari, 2014). Sekali lagi, padahal nyumbang tidak harus pakai uang, melainkan bisa memakai hasil bumi.
Berdasarkan argumentasi di atas, kiranya merekomendasikan kepada bahwa secara sosial ekonomi, tradisi ekonomi tetap memberikan benefit yang positif, terutama bagi keberlangsungan interaksi sosial. Namun menjadi persoalan baru manakala interaksi sosial tersebut diukur dengan ekonomi uang. Karena dengan menguangkan standar nyumbang maka secara tidak langsung mengajarkan masyarakat untuk mengutamakan uang dari pada hasil bumi atau barang lainnya yang sebenarnya mudah didapatkan di sekitar rumah. Dengan demikian menurut hemat penulis, tradisi nyumbang atau ider gula, adalah tradisi yang tidak perlu dilarang. Agar tidak memberatkan warga, maka ada baiknya barang yang dipertukarkan jangan menggunakan uang, tapi hasil bumi dan lain sebagainya yang notabene tidak memberatkan massyarakat. Bagi kelas sosial yang kaya, silakan pakai uang. Bagi kelas petani, kalau mau nyumbang padi, sayur-mayur, buah-buah hasil pertaniannya tidak ada masalah.
Yang terakhir, sebagai muslim, penting kiranya kita tetap mengedepankan prasangka yang baik. Antusiasme yang besar dari seluruh lapisan masyarakat desa di Ponorogo khususnya untuk melaksanakan tradisi ider gula, adalah berlandaskan pada semangat bersedekah, menjalankan ajaran agama Islam. Ider gula adalah manifestasi keindahan praktis dari ajaran Islam yang secara transendental, nilai keagungannya tidak bisa ditakar dengan ukuran duniawi. Mau bersedekah uang atau hasil bumi, Islam tidak melarangnya. Orang yang bersedekah dengan uang belum tentu lebih tinggi derajatnya dari yang bersedekah dengan korma atau padi dari hasil pertaniannya.
Selain itu baik
secara sosial maupun ekonomi, tradisi ini memperkuat solidaritas sosial dan
menumbuhkan ekonomi warga itu sendiri. Terlebih ketika masyarakat yang kaya mau
membelanjakan uangnya untuk membeli hasil-hasil pertanian dari tetangganya
sendiri yang notabene petani kecil. Maka berkah sedekah akan mewujud baik dalam
kehidupan sosial masyarakat desa yaitu adanya sistem sosial yang dilandasi oleh
adanya harmoni kelas sosial, bukan pertentangan antar kelas sosial. 14/04/2023
*) Pembina Masyarakat Muda UMKM dan Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar