MULAI LUSA KEMARIN MENDUNG INDONESIA BERDUKA.. masyarakat hari-hari ini menunggu kepastian tentang kabar nasib harga diri dari para junjungan yang selama ini dipuja-puja. Bukan menunggu datang untuk membawa berita duka atau kabar bencana alam yang akhir-akhir ini menimpa negeri kita... lebih dari itu menunggu label rasa malu karena terlanjur salah memuja junjungan dan menokohkan figur. Ini itu dia.... mereka yang selama dipuja dan diangkat tinggi kini disangkakan sebagai makhluk yang ada di level titik nadir terendah.. maling dan koruptor itu adalah label hina meski banyak orang beranggapan baru dapat dikatakan hina ketika terbongkar... kalau belum terbukti masih dapat diangkat setinggi langitnya nama tokoh yang bersangkutan. Yach tetapi itu alibi ketika seandainya kemajuan informasi tidak sepesat hari ini. Data sekecil apapun dapat dicari menggunakan berbagai tekhnologi informasi maka sangat mengherankan bila masih ada yang mencoba-coba memanfaatkan peluang dan bermanuver untuk mengkhianati amanah negara yang dipercayakannya.
Masyarakat Indonesia khususnya yang mempercayakan keterwakilan aspirasinya ke partai politik melalui orang-orang yang terhormat pasti terbersit rasa marah, kecewa karena selama ini hanya dipakai sebagai tunggangan mereka untuk mendapatkan dan mengeruk anggaran negara sementara di sisi lain kemakmuran yang berkeadilan tidak kunjung datang merata di masyarakat. Eksekutif, Presiden beserta jajaran kementerian tentu tidak dapat berbuat banyak bila andaikan program yang diajukan ke DPR mendapat banyak koreksi atau anjuran dan saran yang cenderung berpihak pada kepentingan pragmatis personal anggota dewan yang ada di dalam gedung atau kelompok komunitas parpol karena mereka yang terhormat adalah manivestasi dari aspirasi rakyat sah secara konstitusi.
Selanjutnya mulai dari mana kita berpikir dan memulai membenahi negeri yang nyaris terpuruk pada lembah kebangkrutan ekonomi atau rapuhnya mental ideologi berbangsa ini. Haruskah tetap membiarkan kepura-puraan ini berlangsung hingga rakyat berpikir untuk membubarkan negara ataukah pilihan membenahi total tatanan penyelenggara negeri ini dengan membuang semua anggota dewan, namun siapa yang harus dibuang bila wadah parpolnyapun berlumuran dengan modus aliran anggaran e KTP ini. Mungkin masih tersisa beberapa anggota dewan yang bersih atau idealis namun bagaimana dengan wadahnya yang berlepotan dengan uang yang tidak sah secara hukum.
Maraknya informasi tentang kucuran dana yang dimuat di Detik menjadikan banyak warga bangsa pesimis karena ini menunjukkan korupsi bukan hanya sebagai penyakit namun sudah menjadi bagian dari roda kehidupan atau bad habits. Banyak masyarakat yang frustasi, bahkan sebagaian mengatakan tidak bergairah hidup tanpa korupsi... Mungkin kita berharap perubahan dari mimbar-mimbar khotbah agama.. pencerahan dari pendeta maupun ulama untuk meluruskan cara hidup anak-anak bangsa di negeri ini namun saya juga pesimis karena mereka semua yang berkhotbahpun juga manusia seperti halnya saya dan manusia yang lain.
Negeri ini tidak butuh patron dan panutan tetapi yang dibutuhkan ketegasan untuk menindak maling dan korupsi dengan hukuman nyata.... perlu dicoba dengan ditelanjangi di tengah alon-alon kota atau keramaian pasar. Atau bila terpaksa perlu rasanya para penegak hukum yang masih waras untuk studi banding ke China atau Korea Utara belajar cara-cara menghukum koruptor yang tidak gaduh, cara memberantas korupsi yang sejuk dan tidak menyakitkan. wisngonowae.. Salam WHP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar